Upaya peningkatan mutu pendidikan menjadi agenda penting pemerintah (depdiknas) beberapa tahun terakhir menyusul hasil penilaian internasional, seperti PISA 2003 (Programme for International Student Assessment) dan TIMSS 2003 (Trends in International Mathematics and Sciences Study), yang menempatkan Indonesia pada posisi buntut dalam hal mutu pendidikan.
Lebih dari itu, laporan terkini dari UNDP tentang Indeks Pembangunan Manusia tahun 2006 juga masih menempatkan Indonesia pada ranking ke-108 dari 177 negara, jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (34), dan Malaysia (61).
Berbagai terobosan dan kebijakan penting telah diambil oleh depdiknas dalam rangka meningkatkan akses pendidikan yang merata dan bermutu sejalan dengan komitmen yang digariskan oleh UNESCO melalui program Education for All (EFA). Ujian Nasional (UN) yang belum lama ini kembali digelar oleh depdiknas dan kebijakan perubahan kurikulum –dari kurikulum 1994 ke KBK, dari KBK ke KTSP– adalah bagian penting dari terobosan penting itu. Sejauhmana kebijakan-kebijakan tersebut mampu meningkatkan mutu pendidikan?
Alih-alih menjadi strategi peningkatan mutu pendidikan, kebijakan UN sesungguhnya telah mengaburkan hakikat pendidikan bermutu. Parameter kebermutuan pendidikan tidak lagi didasarkan pada kebermaknaan individu dalam berperan di dalam kehidupan masyarakat, melainkan melulu didasarkan pada sejauhmana peserta didik mampu mensiasati sederetan soal dalam UN.
Lebih dari itu, kebijakan UN tidak lagi berpihak pada kepentingan siswa, tetapi lebih banyak mendukung kepentingan kekuasaan. Hasil UN setidaknya bisa menjadi alat legitimasi pemerintah untuk mengklaim peningkatan mutu pendidikan yang pada gilirannya bisa menjadi nilai tawar tersendiri bagi pemerintah di mata dunia internasional. Di sinilah, makna kualitas pendidikan telah dimonopoli sedemikian rupa oleh kepentingan pemerintah dan bahkan kepentingan global.
Salah Resep
Penerapan UN sebagai salah satu resep peningkatan mutu pendidikan mencerminkan sebuah kebijakan yang tidak didasarkan pada akar persoalan pendidikan yang sebenarnya. Problem utama merosotnya mutu pendidikan sebenarnya tidak disebabkan oleh lemahnya sistem evaluasi dan kurikulum, melainkan terletak pada rendahnya kualitas guru secara umum dan tidak meratanya persebaran guru-guru profesional.
Menurut laporan Balitbang Depdiknas, misalnya, hanya sekitar 30 persen dari keseluruhan guru tingkat SD di Indonesia yang mempunyai kualifikasi untuk mengajar. Hal yang sama juga terjadi di satuan pendidikan menengah, terutama di lingkungan madrasah. Data Departemen Agama (2006) menyebutkan bahwa sekitar 60 persen guru madrasah tidak mempunyai kualifikasi mengajar. Inilah sebenarnya akar persoalan pendidikan kita.
Namun, seperti yang kita lihat, selama ini kebijakan pemerintah dalam upaya perbaikan mutu pendidikan belum sepenuhnya didasarkan pada akar persoalan di atas. Malah, pemerintah cenderung sibuk dengan kebijakan ‘salah resep’, seperti penerapan UN dan perubahan kurikulum yang sebenarnya belum terlalu mendesak untuk dilakukan.
Terkait dengan kebijakan perubahan kurikulum, penting dicatat bahwa inovasi kurikulum tanpa didukung oleh ketersediaan guru yang mumpuni –yang notabene sebagai agen pelaksana kurikulum di kelas– malah hanya akan semakin membuat runyam mutu pendidikan.
Padahal kalau kita mau belajar dari keberhasilan model pendidikan Finlandia –yang berdasarkan laporan PISA 2000 dan 2003 menempatkan negara welfare state itu pada ranking pertama dalam hal ketercapaian kompetensi aplikatif siswa berumur 15 tahun dalam bidang literasi dan numerasi, justru faktor inovasi kurikulum, sebagaimana dikatakan Simola (2005), tidak berperan signifikan dalam menunjang keberhasilan pendidikan di Finlandia. Ketersediaan guru yang kompeten lah sebenarnya yang merupakan kunci sukses pendidikan di negara tersebut.
Kebijakan strategis
Lalu, apa yang bisa kita lakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional? Setidaknya ada empat kebijakan strategis yang bisa dilakukan.
Pertama, perlunya dilakukan semacam ‘ujian nasional’ bagi semua guru dari tingkat SD sampai SMA. ‘UN’ guru ini digunakan sebagai langkah pemetaan terhadap kompetensi guru secara nasional. Program ini juga penting sebagai upaya melihat sejauhmana persebaran guru-guru yang benar-benar kompeten di bidangnya.
Kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru sebagai implementasi UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen sesungguhnya bisa diarahkan pada tujuan di atas. Namun sayangnya, kebijakan tersebut terkesan terlalu akomodatif terhadap tarik ulur kepentingan politis. Semestinya kebijakan tersebut harus benar-benar diarahkan pada upaya menjaring bibit-bibit guru profesional, bukan sekedar untuk ‘balas budi’ terhadap lamanya pengabdian para ‘guru senior’.
Kedua, perlunya kebijakan persebaran guru-guru berkualitas. Selama ini guru-guru berkualitas banyak tersebar di sekolah-sekolah favorit (effective schools) di perkotaan. Hal ini wajar karena mereka melihat jaminan –baik dari sisi ekonomi maupun karier– yang lebih menjanjikan di sekolah-sekolah itu. Hal inilah sebenarnya yang melahirkan kesenjangan kualitas pendidikan antara urban schools dengan rural schools.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan yang menguntungkan sekolah-sekolah di daerah terpencil berupa kebijakan persebaran guru-guru berkualitas. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberikan daya tarik yang lebih kepada mereka yang mengajar di sekolah-sekolah pinggiran tersebut, misalnya, dengan ditambahkannya insentif perumahan dan fasilitas pendukung lainnya. Pola pembinaan karir terutama guru-guru PNS bisa diarahkan pada kebijakan ini.
Dalam hal ini, ada baiknya kita mengadopsi sistem pembinaan karier model militer, di mana kader-kader terbaik harus ditempa terlebih dahulu di daerah-daerah yang penuh tantangan yang tidak mudah (contexts of stringency).
Ketiga, sebagai jangka panjang, perlu dilakukan strategi untuk mencari bibit unggul dalam profesi keguruan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan pengakuan dan penghasilan yang lebih kompetitif bagi profesi guru, sehingga hal ini bisa memikat para lulusan terbaik dari SMA untuk melanjutkan ke program keguruan. Keberhasilan pendidikan Finlandia, sebagaimana disebutkan di atas, tidak bisa dilepaskan dari faktor ini. Simola (2005) mensinyalir bahwa program keguruan di Finlandia termasuk jurusan paling diminati oleh para lulusan terbaik SMA, sehingga wajar jika kebanyakan guru Finlandia merupakan bibit unggul yang berkualitas.
Keempat, pemerintah juga perlu melakukan restrukturisasi menyeluruh terhadap lembaga-lembaga keguruan di tanah air, terutama dari segi rekruitmen mahasiswanya, sehingga jaminan kualitasnya semakin unggul dan bisa dipertanggungjawabkan.
Kebijakan-kebijakan strategis di atas seharusnya menjadi pijakan pemerintah dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan nasional. Meskipun strategi-strategi itu hasilnya tidak bisa langsung kelihatan, tapi itu akan lebih efektif daripada strategi penerapan kebijakan UN yang terkesan hanya mengambil jalan pintas peningkatan mutu pendidikan yang hasilnya pun masih diragukan banyak pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar